Beranda | Artikel
Pelajaran Dari Kisah Tabuk : Larangan Masuk Pada Tempat Tinggal Kaum Yang Diadzab
Senin, 14 Agustus 2017

PELAJARAN DARI KISAH TABUK : LARANGAN MASUK PADA TEMPAT TINGGAL KAUM YANG DIADZAB

Imam Ahmad meriwayatkan dari jalan Abdulah bin Umar dari Nafi’[1]:

نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ عَامَ تَبُوكَ الْحِجْرَ عِنْدَ بُيُوتِ ثَمُودَ ، فَاسْتَقَى النَّاسُ مِنَ الْآبَارِ الَّتِي كَانَتْ تَشْرَبُ مِنْهَا ثَمُودُ ، فَعَجَنُوا وَنَصَبُوا الْقُدُورَ بِاللَّحْمِ ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَهْرَقُوا الْقُدُورَ ، وَعَلَفُوا الْعَجِينَ الْإِبِلَ ، ثُمَّ ارْتَحَلَ بِهِمْ حَتَّى نَزَلَ بِهِمْ عَلَى الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَشْرَبُ مِنْهَا النَّاقَةُ ، وَنَهَاهُمْ أَنْ يَدْخُلُوا عَلَى الْقَوْمِ الَّذِينَ عُذِّبُوا فَقَالَ : إِنِّي أَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba pada tahun terjadinya perang Tabuk di Hijr; tempat tinggal Tsamud (kaum Nabi Shalih Alaihissallam), kaum Muslim mengambil air minum dari sumur-sumur air minum kaum Tsamud. Mereka membuat adonan makanan dan meletakkan daging di panci. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian  memerintahkan mereka untuk menumpahkan (isi) panci dan memberikan adonan makanan tersebut untuk makanan unta. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama mereka pergi dari tempat tersebut hingga tiba di sumur tempat minum unta (unta Nabi Shalih Alaihissallam). Rasûlullâh melarang masuk (tempat) kaum yang diadzab dengan mengatakan, “Aku takut kalian ditimpa musibah yang pernah menimpa mereka, maka janganlah kalian masuk!

Dalam riwayat al-Bukhâri[2] mengatakan dari riwayat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh bersabda:

لاَ تَدْخُلُوا عَلَى هؤُلاَءِ الْمَعَذَّبِينَ، إِلاَّ أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ فإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَلاَ تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ لاَ يُصِيبُكُمْ مَا أَصَابَهُمْ

Jangan masuk ke (tempat) orang-orang yang diadzab kecuali kalian menangis! Kalau tidak menangis, jangan masuk ke tempat mereka agar musibah mereka tidak menimpa kalian.

Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar[3] Radhiyallahu anhuma disebutkan:

أَنَّ النَّاسَ نَزَلُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضَ ثَمُودَ الْحِجْرَ فَاسْتَقَوْا مِنْ بِئْرِهَا وَاعْتَجَنُوا بِهِ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُهَرِيقُوا مَا اسْتَقَوْا مِنْ بِئْرِهَا وَأَنْ يَعْلِفُوا الْإِبِلَ الْعَجِينَ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَسْتَقُوا مِنْ الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَرِدُهَا النَّاقَةُ

Sesungguhnya para Sahabat bersama Rasûlullâh berhenti di Hijr; tempat tinggal kaum Tsamud. Mereka mengambil air minum dari sumur-sumur mereka dan membuat adonan (makanan) dari air tersebut. Rasûlullâh kemudian memerintahkan untuk menumpahkan dan memberikannya untuk makanan unta, dan memerintahkan mereka untuk minum dari sumur tempat unta Nabi Shalih minum.

Pelajaran Dari Kisah

  1. Nabi Shalih Alaihissallam dan Dakwahnya

Nasabnya adalah Shalih bin Ubaid bin Asîf bin Masyikh bin Ubaid bin Hajir bin Tsamud bin Abir bin Iram bin Sam bin Nûh.[4]

Nabi Shalih Alaihissallam diutus kepada kaum Tsamud sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih [Al-A’raf/ 7: 73]

Kaum ini tinggal di Hijr. Nama ini disebutkan sebagai salah satu nama surat dalam al-Qur’an. Yaqut al-Hamawy mengatakan bahwa ini tempat tinggal kaum Tsamud yang terletak di lembah Qura antara Madinah dan Syam[5]. Posisinya ± 300 km sebelah utara Madinah an-Nabawiyah.[6]

Nabi Shalih Alaihissallam berdakwah kepada kaumnya yang menyembah patung[7] agar mereka beribadah kepada Allâh semata.

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ هَٰذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً ۖ فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ ۖ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia berkata, “Hai kaumku, beribadahlah kepada Allâh! Sekali-kali tidak ada Tuhan yang hak bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Rabbmu. Unta betina Allâh ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allâh, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih” [Al-A’râf / 7:73]

Nabi Shalih Alaihissallam juga mengingatkan akan nikmat yang mereka dapatkan:

وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي الْأَرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا ۖ فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

Dan ingatlah olehmu di waktu Rabb menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ´Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allâh dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan [Al-A’râf / 7:74]

Namun peringatan itu tidak berguna mereka. Dengan sangat ingkarnya mereka menanggapi seruan dakwah beliau:

قَالُوا يَا صَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَا ۖ أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ

Kaum Tsamud berkata, “Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami” [Hûd /11: 62]

Lebih jauh lagi mereka menyembelih unta yang diperintahkan  untuk dijaga dan agar jangan diperlakukan buruk:

فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوا يَا صَالِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allâh)” [Al-A’râf / 7: 77]

Allâh Azza wa Jalla kemudian menyiksa mereka pada hari keempat:

فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ

Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka [Al-A’râf / 7: 78]

وَأَخَذَ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ

Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya. [Hûd / 11: 67]

فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُصْبِحِينَ

Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur di waktu pagi. [Al-Hijr / 15: 83]

  1. Larangan masuk ke tempat tinggal kaum yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla [8], (Dalam riwayat lain) yang menzhalimi diri mereka sendiri[9]. Hal ini jelas dari hadis yang sudah disebutkan. Al-Qurthuby rahimahullah ketika menjelaskan tafsir surat al-Hijr ayat ke-80 menyebutkan bahwa sebagian Ulama menjadikan dalil di atas sebagai hujjah larangan masuk ke makam orang kafir.[10]
  2. Pengecualian dari larangan masuk jika dalam dalam kondisi menangis sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang ada. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa perintah untuk menangis tersebut tidak hanya ketika baru masuk, tetapi selama di tempat tersebut[11]. Menangis akan mendorong orang untuk bertafakkur dan mengambil pelajaran.[12]
  3. Larangan masuk ini tidak hanya terbatas pada peninggalan kaum Tsamud saja, tetapi mencakup yang sejenis sifatnya walau hadits ini turun tentang kaum Tsamud.[13]
  4. Dorongan untuk muraqabatullah (merasa diawasi Allâh).[14]
  5. Larangan merasa aman dari musibah kaum Tsamud karena Allâh Azza wa Jalla membolak-balikkan hati hamba- Jika sesorang lewat dan tidak bertafakkur dan menangis maka terdapat kemiripan dengan kaum Tsamud dan yang sejenis dalam meremehkan perintah Allâh yang menunjukkan kerasnya hati mereka dan tidak ada kekhusyukan.[15]
  6. Celaan tinggal di tempat tersebut[16]. Bahkan sebagian Ulama cenderung mengharamkannya.[17]
  7. Perintah untuk mempercepat langkah ketika melewati tempat itu dan sejenisnya[18], karena itu juga Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam mempercepat langkah ketika melewati lembah Muhassir; tempat dihancurkannya pasukan bergajah milik Abrahah.[19]
  8. Larangan minum dari air sumur kaum Tsamud. Yang dibolehkan adalah dari sumur sumber minum unta Nabi Shalih Alaihissallam
  9. Perintah untuk memberikan adonan makanan dari air sumur tersebut pada unta mereka.[20]
  10. Bolehnya memberi makan hewan dengan makanan yang dilarang bagi manusia.[21]
  11. Hukum shalat di tempat kaum yang diad Dalam masalah ini, madzhab Ulama paling tidak, ada dua; antara yang membolehkan dan mengharamkannya. Al-Qurthubi cenderung membolehkannya[22]. Pendapat yang mengharamkan di antaranya Ibnu Taimiyah[23] dan Syaikh al-Albani[24].
  12. Larangan menghidupkan kembali peninggalan purbakala[25] kaum jahiliyah yang terdahulu.[26].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote

[1] Imam Ahmad, Musnad, 2/117. Muhaqqiq Bidâyah wa Nihâyah (1/321) mengatakan  Shahîh.

[2] Imam Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, 3198.

[3] Shahîh Al-Bukhâri, no. 3378; Shahîh Muslim, no. 7391.

[4] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bârî, Tahqiq Abu Qutaibah Nazhr bin Muhammad al-Faryaby, (Riyadh: Dar at-Thaibah, Cet. 3, 1431 H), 7/628.

[5] Yaqut al-Hamawy, Mu’jam Buldân, (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Tanpa Tahun), 2/255.

[6] https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%84%D8%A7

[7] Ibnu Katsir, Qashas al-Anbiyâ’, Tahqiq Imad Zaki al-Baarudy dan Khairi Sa’id, (Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, Tanpa Tahun), hlm. 87

[8] Shahîh al-Bukhâri, 433.

[9] Ibid, 3381.

[10] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hadis, 1431 H), 5/405.

[11] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bârî, 2/169.

[12] Ibid, 2/170.

[13] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bârî, 7/631.

[14] Ibid; An-Nawawy, al-Minhaj Syarh Shahîh Muslim bin Hajjaj, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, Cet. 18, 1431 H), 18/311

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Lihat fatwa Hai’ah Kibar Ulama tahun 1421 H tentang hukum Menghidupkan Kembali Peninggalan Kaum Tsamud.

[18] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bârî, 2/169.

[19] An-Nawawy, al-Minhaj Syarh Shahîh Muslim bin Hajjaj, 18/311

[20] An-Nawawy, al-Minhaj Syarh Shahîh Muslim bin Hajjaj, 18/312.

[21] Al-Qurthuby, 5/405 ;An-Nawawy, al-Minhaj Syarh Shahîh Muslim bin Hajjaj, 18/311.

[22] Ibid, hlm. 406-411.

[23] Ibnu Taimiyah, Iqtidhâ’ Sirâth al-Mustaqîm, Tahqiq Nashir Abdul Karim al-Aql, (Riyadh: Dar al-Ashimah, Cet. 6, 1419 H), 1/265.

[24] Al-Albany, ats-Tsamr al-Musthathâb, (Kuwait: Gharras, Cet. 1, 1422 H), 2/398-403.

[25] Untuk lebih luas mengenai pembagian benda purbakala dan hukumnya, lihat Muhammad Shamil as-Sulami, Manhaj Kitabah at-Tarikh, (Dammam: Dar Ibnu al-Jauzi, Cet. 1, 1429 H), hlm. 185-195.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/7235-pelajaran-dari-kisah-tabuk-larangan-masuk-pada-tempat-tinggal-kaum-yang-diadzab.html